Monday, March 14, 2005

STRIP THAI GIRLS

Ehmmm....!
Sekitar pukul 01.00 dini hari, ponsel saya berbunyi. Sebuah sms membuat konsentrasi saya agak terganggu. Padahal, saya lagi serius-seriusnya menikmati film Temptress Moon yang dibintangi Gong Li dan Leslie Cheung di sebuah kamar hotel berbintang empat di Yogyakarta seminggu lalu. Di layar ponsel saya tertulis pesan pendek yang membuat saya terpaksa melupakan sejenak kecantikan Gong Li.
“MEET = 1) New Thai Sexy dancers 2 TEASE UR LIBIDO. 2) Thai “BODY” Massage 2 RELAX. 3) 10 Most Beautiful Thai MODEL 4 Limited time 2 FINISH UR LIBIDO. 4) Info call : 021-6269 xxx…”
Ini bukan sembarang sms dan bukan kali pertama saya menerimanya. Dalam sebulan, saya bisa menerima sms serupa tiga sampai empat kali. Tiga tawaran menggiurkan yang ditulis tak ubahnya seperti iklan baris itu, saat ini memang tengah menjadi salah satu menu seks utama di sejumlah klub elit di Jakarta. Jadi. tak perlu heran kalau suatu ketika Anda mampir ke karaoke, klub, sauna, diskotek atau tempat pijat akan disuguhi puluhan gadis cantik asal Thailand.
“Cewek Thailand-nya asli betulan atau aspal?” seorang teman berseloroh ketika kami berbincang santai di kawasan Pecenongan, Jakarta Barat, sambil menikmati aneka hidangan sea-food : kerang hijau rebus, kepiting saus tiram dan gurame bakar sambal kecap. Tentu saja ceweknya asli, bukan aspal apalagi imitasi. Mereka diimpor langsung dari Thailand ---negara yang banyak mendapatkan pemasukan devisa dari industri seks yang dilegalkan.
Menu seks utama yang diberikan oleh gadis-gadis Thai ini, tak beda jauh dengan isi sms di ponsel saya. Pertama, mereka akan menyuguhkan pelayanan tarian tangju (baca = tanggal baju). Dalam aksinya mereka tidak kok sekedar meliuk-liuk di depan tamu tanpa baju dengan goyangan sensual dan erotis, tapi lebih dari itu, biasanya mereka akan memberikan pertunjukan ekstra, sejenis dengan tiger show. Meskipun sebelumnya saya pernah menonton pertunjukan serupa di Pattaya, tapi terus terang, saya kaget juga ketika di sebuah ruangan karaoke kelas VIP ---yang ini di Jakarta lho, mereka dengan berani mempermainkan rokok, botol bahkan benda-benda tajam di bagian, maaf, alat vitalnya.
Kedua, mereka memberikan pelayanan seks ala body-massage dan Thai Scrub. Tak beda jauh dengan pelayanan body-massage yang juga biasa ditawarkan sejumlah tempat pijat dengan tenaga lokal yang banyak menjamur di Jakarta, para gadis Thai ini pun tak kalah gesit dan lihai dalam menjamu tamunya di atas ranjang anti-air yang dipenuhi busa. Bahkan, mereka punya menu andalan lain berupa pelayanan Thai Scrub untuk menambah sensasi berekreasi-seksual : menggunakan spon dan bulu binatang selama proses body-massage berlangsung.
Yang tak kalah hebatnya adalah menu ketiga : 10 Most Beautiful Thai MODEL 4 limited time 2 FINISH UR LIBIDO. Waduh, kalau baca kalimatnya, kedengarannya kok agak-agak vulgar kali ya. Tapi yang pasti, menu ketiga ini adalah pelayanan seksual ala full service (baca = pelayanan tuntas, tas, tass….) dengan 1 atau 10 gadis Thai untuk waktu satu jam. Sebutan model, mungkin tidaklah terlalu muluk-muluk. Karena secara fisik, mereka memang memiliki tinggi tubuh di atas 170 cm, berkulit halus, berwajah khas Melayu dan memiliki sex-appeal di atas rata-rata.
Barangkali, tanpa bermaksud melebih-lebihkan, komunitas gadis-gadis Thai yang menjadi “penghuni” di sejumlah tempat hiburan malam itu, sudah jadi tren tersendiri. Di beberapa tempat hiburan malam, mereka menjadi primadona yang menyebabkan tamu rela masuk daftar waiting list sebelum memboking. Meski keberadaan pekerja seks lokal relatif murah, tapi gadis-gadis Thai yang notabene mematok harga tinggi itu, nyatanya tetap menjadi incaran bagi banyak laki-laki berduit untuk menuntaskan wisata dan rekreasi seksual-nya.
Di salah satu strip club & bar berinisial KL 3X di kawasan Hayam Wuruk para gadis Thai ini saban malam Minggu ditampilkan sebagai maskot acara. Sepuluh gadis Thai dengan dandanan seksi akan menari sensual di atas bar. Para tamu diberi kebebasan memberi minuman ke mereka. Tamu tinggal mendekat, menaruh segelas “shooters” di mulut, lalu para penari Thai itu akan menjemput dengan mulutnya juga. Dalam hitungan detik, mereka akan berjoget ala “kayang” tak ubahnya aksi penyanyi dangdut Putri Vinata sambil menenggak gelas minuman tanpa sisa. Sebuah pemandangan yang, menurut saya, fantastis karena tak jarang aksi “beradu bibir” kerap terjadi.
“Rp. 1,5 juta 4 New Thai sexy dancers & BODY Massage 2 TEASE UR LIBIDO. Rp 2, 5 juta 4 One Most Beautiful Thai MODEL 4 Limited time 2 FINISH UR LIBIDO.” Waduh….., mana tahan !.

Monday, March 07, 2005

SITI MADONNA & BEIB...AKU SAKAU (CINTA BENGET GITU LOH)

SiTI MADoNNA
BEiB…AKU SaKAU
365 HaRI, 3 CiNTA, 2 SELiNGKuHAN
TeNTAnG DiA

Judul : SITI MADONNA
Penulis : MOAMMAR EMKA
Penerbit : GagasMedia 2005


SITI MADONNA.
“Berapa harga dirimu?”
“Rp. 100 juta !”
“?!?!”

Novel ini ditulis berdasarkan kisah nyata 5 escort hi-class. Bagaimana lika-liku mereka dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Lewat tokoh Siti Madonna akan terkuak bagaimana modus operandi pelesir seks dan nikah kontrak itu seperti apa.

BUAH CHERRY, BIRAHI & NO HAND SERVICE

HARGA 2 MINGGU LIBURAN? RP. 100 JUTA.
APAKAH INI HANYA SEBUAH PERMAINAN?

PESTA SEKS. DRUGS. ADA APA DENGAN ITU SEMUA?

IKATAN PERASAAN. HARUSKAH IA BERNAMA PERNIKAHAN?
TENTANG NIKAH KONTRAK. TENTANG KONTRAK PELESIR SEKS. TENTANG ESCORT GIRL YANG HIDUP DI DUA DUNIA.

****

Judul : 365 HARI, 3 CINTA, 2 SELINGKUHAN
Penulis : MOAMMAR EMKA
Penerbit : GagasMedia 2005

Sebuah nover berdasarkan 10 lagu karya Melly Goeslaw

Rama tidak tahu mencintai Regina karena apanya. Yang dia tahu, cinta itu tahu-tahu hadir tanpa awal yang bisa dia raba permulaannya. Apakah karena Regina begitu mirip dengan Deva, dari tatap matanya sampai caranya berbicara?. Rama masih mencarinya.
Rama juga tidak tahu mencintai Lulu karena apanya. Tahu-tahu, cinta itu muncul tanpa dia undang. Begitu saja lahir dan dia tak bisa memungkirinya.
Tapi Rama mungkin tahu, mencintai Deva karena mereka beda agama dan satu hal lagi, karena Deva punya mata dan lesung pipit yang indah dan menggemaskan.
Tiga cinta dalam hidup Rama datang dan pergi, seperti tak berawal dan tak berakhir. Di setiap waktu yang berlalu, selalu ada bimbang yang hadir. Di setiap waktu, Rama menghitung hari kapan bisa menemui kekasih impiannya.
“Jika saja ada seputih hati, mungkin aku akan jadi punyamu dan sebaliknya,” pikir Rama.
Justeru itu persoalannya. Tak mudah mencari putihnya hati atau bahasa sederhananya ketulusan mencintai. Ada makhluk bernama selingkuh yang mengintai tak kenal lelah, entah selingkuh dalam arti sebenarnya, atau selingkuh perasaan belaka. Dua-duanya tetap menjadi sebuah noda dan cela dalam perjalanan cinta Rama.
Ketika Rama mencintai Lulu, tiba-tiba dia dikejutkan oleh hadirnya konflik perasaan yang akibat hadirnya orang ketiga. Situasi ini semakin krusial ketika Lulu pun ternyata diam-diam juga membagi perasaannya dengan pria lain. Apa jadinya coba?.
“Aku mencintai Rama tapi mengapa aku juga tak bisa membiarkan cinta laki-laki lain datang padaku. Apakah ini yang dinamakan selingkuh perasaan?” sebuah kalimat yang kerap menghantui hari-hari Lulu, bahkan Regina.
Apakah tiga cinta yang ada dalam hidup Rama ini harus membuat dia tegar atau justeru jera dalam bercinta?. Apa apa sebenarnya dengan cinta? Mengapa selalu menyimpan seribu misteri dan teka-teki? Itulah cinta yang ada dalam cerita 365 Hari, 3 Cinta, dan 2 Selingkuhan.

****

Judul : BEIB…AKU SAKAU (CiNta Banget Gitu LOH)
Penulis : Moammar Emka
Penerbit : GagasMedia, 2005

“Sesakit apapun, jangan pernah cinta ini menjadi nyata. Hanya karena tak ingin semua berakhir sia-sia. Biarlah menjadi mimpi, jika itu akhirnya.”

Ini adalah sebaris cerita tentang sakau dalam cinta, kesepian yang merontokkan logika waras, kebisuan + ketidakberdayaan, cinta yang terpasung dalam asa semu dan tentang jiwa yang lagi NGAREP DOTCOM ; mendamba seorang gadis cantik datang dan rela dijadikan pacar. Semua peristiwa yang terjadi dari A sampai Z, 60 % adalah kisah nyata. Sisanya adalah bumbu penyedapnya.

“Satu-satunya kesalahanku adalah mencintaimu.”
Tapi sungguh, “Aku telah jatuh cinta. Terlalu sakit, memang. Tapi aku ingin tetap dalam kesakitan.”

Dalam cerita ini, Bintang Aksa Saputra jatuh cinta setengah mati pada Bulan Ayu Safitri. Selama hampir enam bulan, Bintang telah menunjukkan segala bentuk ekspresi cintanya. Tapi tetap saja, Bulan juga bergeming dan menerima cintanya. Padahal, Bintang dan Bulan telah begitu dekat sebagai dua orang yang sama-sama memberikan perhatian. Tapi, Bulan malah jatuh cinta pada Randy, seorang cowok yang menjadi lawan mainnya di sebuah sinetron. Bulan merasa yakin, pada Randy lah getar cintanya tertuju.

“Ketidakpastian adalah hal terburuk dalam logika penantian.”

Kecewa? Pastinya, Bintang merasakan hal itu. Tapi seperti tak kenal lelah, Bintang tetap saja menunggu Bulan. Cowok yang sehari-hari berprofesi sebagai fotografer itu tak mau juga menyadari kalau pujaan hatinya telah menjadi kekasih orang lain. Sampai akhirnya, Bintang bertemu dengan Yuki Ananta, cewek keturunan Jepang yang ia kenal selama liburan di Bali. Mereka pun jadian karena sama-sama jomblo dan merasa ada kecocokan hati. Sayang, pertalian cinta itu hanya bertahan selama dua bulan karena sebuah kecelakaan telah merenggut nyawa Yuki. Bintang sendiri lagi.

Setelah empat bulan larut dalam kesedihan, Bintang kembali bertemu dengan Bulan di sebuah sesi pemotretan iklan. Disitulah, getar cintanya yang tertunda tumbuh kembali. Di sisi lain, ketika pertemuan itu terjadi, Bulan ternyata telah putus dari Randy. Lewat dua bulan setengah, kedekatan Bintang dan Bulan nyaris seperti layaknya orang yang tengah berpacaran. Tapi, status kekasih belum juga menemukan titik terang. Masih tetap samar dan belum ada kejelasan. Bintang masih harus terus menunggu waktu, kapan Bulan akan menerimanya sebagai cowoknya. Kapan?

“Tak ada salahnya bukan, mendamba asa diayun ketiadaan. Hampa, mengulum adamu dalam pedih.”

Sebuah ciuman sepersekian detik, seperti menjadi tanda Bintang dan Bulan akan menyatu dalam satu ikatan cinta. Benarkah di situ Bintang akan menemukan Bulan sebagai cinta sejatinya? Lewat satu setengah tahun, Bintang tetap menunggu dan menunggu. Segala puisi keindahan telah ia tumpahkan habis tanpa sisa. Apakah penantian itu akan menemui titik pengakhirannya?.

“Masuklah dalam hujan. Meskipun aku berpayung, aku bukanlah satu-satunya yang kebasahan. Masuklah dalam cinta, meskipun aku mencintai, aku bukanlah satu-satunya yang terhempas.”

****

Judul : TENTANG DIA
Penulis : MOAMMAR EMKA
Penerbit : GagasMedia 2005


Sebuah novel based on a story by Melly Goeslaw & a movie script by Titien Wattimema yang bercerita tentang cinta, persahabatan, kehilangan dan tentang seseorang.

“Cuma ada dua hal besar dalam hidup ini. Cinta dan kematian. Ketika kita siap menerima keduanya, berarti kita siap menghadapi apa saja.”

“Kesedihan tidak pernah membiarkan kebahagiaan datang sendirian ke dalam hidup manusia. Padahal, seringkali kita tak punya cukup persediaan untuk menjamunya bersamaan…”

****

Sunday, March 06, 2005

Mak Erot Vs Mak Irit

ADA banyak cerita lucu ketika saya biasa kongkow-kongkow di kafe bersama beberapa ‘anak gaul’ atau clubber-mania yang biasa kelayapan malam di sudut-sudut Jakarta. Setiap kali bertemu, obrolan yang dibahas kalau tidak seputar ‘cewek’, ya satu lagi pastinya dunia esek-esek (baca = seks).
Seperti yang terjadi minggu lalu, pada Sabtu sore, di kafe Boutique 21, Plaza Senayan. Kebetulan saya baru saja menyelesaikan buku baru berjudul ADE APE DENGAN MAK EROT (?). Karena masih gres, saya selalu bawa buku itu kemana-mana. Ya, hitung-hitung sebagai salah satu cara promosi ke publik. Syukur-syukur ada yang langsung beli di tempat (he…he…he…). Yan dan Dhani yang duduk bersebelahan dengan saya, enak saja langsung nerocos dengan sejumlah pertanyaan.
“Emang ade ape dengan Mak Erot?” celetuk Yan.
“Mak Erot emang ade ape-apenya. Yang pasti, dia laris sebagai dukun pembesar alat kelamin,” jawab Dhani dengan santai sambil menyeruput segelas bir putih.
“Justeru itu yang mau gue bahas. Mak Erot ternyata laris manis. Sebagai dukun, dia sukses bersaing dengan pengobatan modern yang serba canggih itu. Yah, minimal dia tak kalah populer dengan VIAGRA lah,” saya ikut urun rembug.
Memang tak bisa dipungkiri, keberadaan Mak Erot tak kalah fenomenal dibanding Viagra. Pasien yang datang ke Mak Erot, sebagian besar adalah orang-orang kota. Yang pakai Viagra, juga kebanyakan orang-orang kota. Pantas kalau klinik Mak Erot berterbaran di beberapa sudut kota Jakarta dan sekitarnya. Dan pasien yang datang juga tak pernah sepi. Begitu juga dengan markas Mak Erot di desa Cisolok, sekitar 16 kilometer dari Pelabuhan Ratu, Sukabumi.
Buat saya, fenomena Mak Erot dan Viagra menjadi sinyal jelas betapa banyak laki-laki yang mengalami krisis tidak pede dengan kelaminnya. Ukuran kelamin sepertinya menjadi persoalan penting. Kelamin besar menjadi cita-cita sebagian laki-laki yang ingin mendapatkan kepuasan seksual tanpa batas. Kalau tidak begitu, keinginan melakukan hubungan seksual yang kuat dan tahan lama menjadi ‘hasrat’ yang menggebu-gebu dan mesti terkabul.
Apakah sebegitu pentingnya ukuran kelamin? Atau apakah sebegitu perlukah berhubungan seks lama-lama hingga kalau perlu bisa kuat di atas ranjang selama berjam-jam baru mencapai orgasme?. Ternyata, bagi sebagian orang, dua-duanya masih dianggap perlu dan penting. Fenomena Mak Erot dan Viagra yang terus mencuat ke permukaan dan tak pernah basi sebagai isu adalah bukti nyata.
“Emang bener ya setelah dari Mak Erot bisa langsung gede?” kali ini Yan yang iseng bertanya.
“Gue juga nggak yakin sih. Habis, setelah berobat dari sana, gue belum pernah ngukur di tukang jahit. “ Yan dan Dhani hanya bisa terbahak sambil mengumpat sialan.
Soal ampuh tidaknya pengobatan ala Mak Erot memang masih jadi tanda tanya besar. Pasalnya, belum ada yang berani bicara blak-blakan ke publik. Paling-paling, hanya di pembicaraan antar pribadi. Boro-boro mau bicara terus terang, ketahuan pernah pergi ke Mak Erot saja sudah ketakutan. Malu katanya dicap sebagai laki-laki dengan kelamin kecil. Begitu juga dengan mereka yang biasa mengkonsumsi Viagra. Mereka lebih suka menjadikannya sebagai perilaku rahasia. Mereka juga takut kalau dicap sebagai laki-laki yang tidak (kurang) jantan.
“Ah, gue sih nggak perlu ke Mak Erot atau pake Viagra. Buat gue, yang penting kan ‘how to play’. Gede tapi peltu (nempel metu), rugi bandar dong. Mending kecil tapi lincah dan jago akrobat,” ceplos Yan penuh percaya diri.
“Itu kan lo. Orang lain kan belum tentu. Bisa jadi setelah ke Mak Erot timbul sugesti kalau kelaminnya jadi gede. Minimal ada rasa percaya dirinya bertambah. Betul nggak?” sergah saya.
“Iya juga sih. Tapi gue lebih suka pake Viarga karena nggak ada efek sampingnya dan tinggal nelen doang,” giliran Dhani yang nerocos.
“Lha, emang bener nggak ada efek sampingnya?” tanya Yan.
“Ya, iyalah. Yang ada sih cuma EFEK TENGAH doang. Unjuk rasa setiap saat tak kenal lelah,” jawab Dhani sambil tertawa.
“Sialan lo. Kalo Mak Erot buat ngegedein. Kalo buat ngecilin mesti kemana dong?” Yan balik bertanya dengan ekspresi pura-pura bego.
“Buat nggedein ke Mak Erot. Kalo ngecilin ya ke Mak Irit aja. Beres kan.” Saya sengaja menjawab seenaknya karena dari tadi pembicaraan tak juga beralih ke tema lain. Bahkan makin melebar karena muncul nama-nama lain seperti Mak Orot, Mak Irot dan lain-lain. Juga muncul pesaing Viarga bernama CIALIS yang konon kabarnya lebih aman dan ampuh karena tidak membuat degub jantung berdetak kencang. Alhasil, pembicaraan itu memang tidak pernah tuntas, dan berulang di keesokan harinya. Lagi-lagi Mak Erot, lagi-lagi Viagra. ()

Bra 36#O

Bra 36#O

Ukuran tidak penting ! Itu pendapat sebagian orang. Ukuran sangat penting ! Itu pendapat sebagian orang yang setuju. Stop! Ini soal ukuran apa? Ukuran baju, sepatu, atau alat vital? Tiga-tiganya bukan. Yang pasti, ini soal ukuran buah dada perempuan atau biasa juga disebut payudara. Ada juga yang menyebutnya dengan beberapa istilah lain yang konon kabarnya lebih sopan untuk diucapkan : bukit kembar, gunung kembar, tetikadi dan lain-lain. Saya lebih suka menggunakan istilah payudara. Kesannya lebih blak-blakan dan apa adanya. Daripada pesan tidak sampai gara-gara salah idiom, mendingan bicara terus terang biar langsung ke pokok sasaran.
Agak lucu memang kalau sudah debat soal ukuran payudara perempuan. Saya bukan perempuan, tapi saya sangat dekat dengan kehidupan perempuan. Ditambah lagi, saya punya segerombolan teman laki-laki yang juga dekat dengan perempuan dan sangat suka membicarakan lika-liku dunia keperempuanan. Sebagian besar teman laki-laki saya itu lebih sering menghabiskan waktu senggangnya dengan ber-afternoon tea di kafe mal sambil ber-window shopping (cuci mata) atau ber-dugem ria alias clubbing pada malam-malam gaul (Rabu, Jum’at & Sabtu) ke sejumlah kafe-lounge-diskotek trendsetter.
Salah satu topik pembicaraan yang tak pernah basi, ya itu tadi, soal payudara. Bagi perempuan, bagian tubuh yang satu ini termasuk dalam katagori sex-appeal. Paling terbuka sehingga gampang dilihat meskipun tertutup baju dan serind dijadikan bahan terkaan, terutama menyangkut ukuran. ‘Coz termasuk katagori sex-appeal, tidak heran kalau banyak laki-laki suka membicarakannya. Apa yang terbayang di benak Anda ketika menyebut nama Pamela Anderson atau Dolly Parton? Pasti, pertama kali teringat dengan ukuran payudara mereka yang super besar dan mempunyai ukuran di atas rata-rata itu.
“Eit, tunggu dulu. Tidak semua laki-laki suka dengan perempuan berdada besar?” sergah Tommy, 29 tahun, ketika saya bertemu dia di Boutique 21 CafĂ©. Plaza Senayan. Ada dua teman saya lagi : Boy dan Jo, yang tak urung langsung tergoda untuk ikut berdiskusi.
“Kalo gue demen yang gede,” kata Jo.
“Kenapa?”
“Secara psikologis, gede itu jadi jaminan kepuasan.”
“Kok bisa?”
“Kalo gede kan gampang dilihat, diraba dan diapa-apain,” jawab Jo, simpel.
“Gue nggak. Gue demen yang sedang-sedang saja,” tambah Boy.
“Kenapa?” “Dimana-mana yang sedang-sedang itu paling moderat, paling balance,” jelas Boy dengan alasan praktis.
“Besar kecil, buat gue nggak terlalu penting. Yang penting, tidak lembek !” saya ikut memanaskan suasana diskusi informal, sore itu.
“Dari mana lo tahu lembek atau nggak?” sergah Jo tak mau kalah.
“Cek dulu baru coba,” jawab saya singkat.
“Memangnya jajajan pasar bisa dicek dulu. Gile lo ya !” timpal Boy.

Pembicaraan plus jawaban yang muncul akan sangat beragam. Itu pasti. Jadi kalau ada pertanyaan : siapa yang tidak suka dengan buah dada perempuan berukuran besar? Jawabannya sangat personal. Tidak gampang menebak selera laki-laki. Masing-masing punya selera yang berbeda, apalagi untuk urusan seksual. Melihat mungking semua laki-laki suka tapi kalau sudah bicara selera, jawabannya nanti dulu. Suka melihat bukan berarti itu mengindikasikan selera. Suka membicarakan, belum tentu juga mewakili selera. Untuk urusan yang satu ini, laki-laki bisa dibilang misterius, tidak kalah misteriusnya dengan dunia perempuan.
Tapi yang patut digarisbawahi adalah sebagian laki-laki suka membahas dunia perempuan, apalagi kalau itu menyangkut wilayah sex-appeal. Salah satunya, ya payudara. Itu sudah jadi rahasia umum. Di kafe, di mal dan di sejumlah tempat tongkrongan, diskusi seputar sex-appeal perempuan, selalu menarik perhatian. Apalagi kalau sudah membahas ukuran payudara perempuan, tak ubahnya masuk dalam diskusi yang mengundang adrenalin tersendiri. Saya, Tommy, Boy dan Jo, menghabiskan waktu tak kurang dari dua jam untuk membahas soal payudara perempuan. Gila! Itupun pembicaraan juga belum usai.
“Punya dia seperti ceplok telur.” Itu istilah mereka yang berdada kecil atau berdada rata.
“Punya dia pasti bertipe pepaya.” Itu satu ungkapan untuk mereka yang punya payudara besar dan panjang.
“Kalau punyanya si dia seperti buah melon.” Yang satu ini, istilah untuk mereka yang berpayudara besar dan bulat.
Itu baru soal bentuk. Belum lagi kalau masuk ke soal ukuran. Jangan dikira kaum laki-laki tidak tahu dan enggan membicarakannya. Malah kebalikannya!
“Branya pasti nggak lebih dari 32 A,” Jo mencoba menakar ukuran bra seorang perempuan yang berjalan di escalator.
“Yang itu sih tebakan gue lebih dari 34 B,” Tommy tak mau ketinggalan.
“Kalo yang di ujung itu, minimal 36 C deh,” Boy pun ikut-ikutan.
“Sok tau. Kalo dia pake tambelan, gimana?”
“Periksa saja sendiri kalo nggak percaya,” sungut Boy.
“Nggak usah jauh-jauh. Pamela Anderson itu ukuran bra-nya berapa?” saya melemparkan pertanyaan yang membuat Tommy, Boy dan Jo saling pandang.
“36 B”
“38 A”
“36 D”
“Yang paling gampang : 36 O.” jawab saya, singkat.
“Mana ada bra ukuran 36 O. Yang ada juga 36 B, C atau D.” sergah Jo.
“Karena saking gedenya, makanya pake istilah 36#O…Oooh, My Ghost…Oooh, My Goodness…!” saya terbahak.
“Sialan lo!” gerutu Boy.
“Yang paling pas sih, 36 D…alias 36 Dolll…” ceplos Jo sambil tertawa.

Bicara payudara perempuan, memang tidak ada habisnya. Entah sudah berapa kali, saya bersama teman laki-laki terlibat obrolan dengan tema yang sama. Kemarin, hari ini, besok atau lusa, obrolan seputar payudara itu selalu terulang dan berulang lagi. Mungkin, sebagai salah satu sex-appeal perempuan, payudara memang menarik. Buktinya? Selain selalu jadi bahan pembicaraan, bisnis silikon dan segala macam terapi dan obat-obatan untuk memperbesar payudara tak pernah sepi di pasaran. Segala jenis merek berlomba-lomba memasang iklan di media cetak dan elektronik, menggaet pangsa perempuan yang tidak pede dengan ukuran payudaranya.,
Tidak hanya itu. Di industri seks pun, sejumlah tempat hiburan yang menawarkan jasa pelayanan seksual juga menjadikan simbol payudara besar sebagai ikon jualan. Lihat ada ada menu Pijat Dada Super atau Body Massage 36 B yang tersebar di sejumlah tempat pijat dan kebugaran di kawasan Mangga Besar, Hayam Wuruk dan Pecenongan (ketiga kawasan itu masuk wilayah Jakarta Barat) laris manis seperti handphone merek Nokia; dari menu gadis-gadis lokal sampai mancanegara (Uzbek, Cungkok atau Thailand).
Kesimpulannya? Bagi saya, ukuran besar kecilnya payudara tidak lah begitu penting. Masing-masing punya kelebihan tersendiri kok. Percaya deh! Walaupun mungkin, saya termasuk laki-laki yang pastinya, akan mendapatkan shock-therapy sesaat, ketika bertemu perempuan dengan bra berukuran 36 B ke atas. Tanpa sadar, saya pun sering mengeluarkan komentar di dalam hati.
“Kayaknya, yang ini branya di atas 36 B atau 36 # O…?!”
Ups !!!.


*****

L'sbian Package

2
Dari Sebuah Kamar.

Adit buru-buru menghabiskan minumannya. Mukanya memerah. Berulang kali dia mengacak-acak rambutnya. Risa hanya tersenyum melihat polah tamunya itu.
"Mau segelas shot terakhir?" tanya Risa.
"Udah ah. Cukup. Yang ada, ntar gue nggak bisa jalan lagi."

Adit mengeluarkan dompetnya dan membayar bil minuman. Tidak banyak, tagihannya hanya sekitar 200 ribu rupiah.
"Kok murah?" tanyanya.
"Harga bartender," jawab Risa, singkat.
"Thanks ya. Gue cabut dulu."
"Kalo bete, ke sini lagi aja. Kita buka ampe malem kok."
Adit mengangguk dan berjalan meninggalkan kafe. Kakinya melenggang perlahan memasuki area fitness centre yang terletak tak jauh dari kolam renang. Dia penasaran dengan rekomendasi Risa. Dia sampai di ruangan massage. Seorang resepsionis perempuan menyambutnya dengan senyum ramah.
"Mau massage, Pak?"
"Ya. Ada kamar VIP yang kosong nggak?"
"Masih ada, Pak. Mau sama siapa?"
"Sonya ada?"
"Bentar ya...Ada, Pak."
"Boleh liat fotonya dulu nggak?"
"Boleh," jawab resepsionis itu sambil menyerahkan album foto.
Adit mulai membuka satu demi satu. Di situ ada foto Sonya dengan pose yang sangat biasa. Mengenakan baju putih dan hanya separuh badannya yang tampak. Rambutnya dibiarkan tergerai. Di halaman berikutnya, Adit mendapati foto Laura dengan pose yang sama. Ehmm...dua-duanya lumayan cantik.
"Boleh langsung dua?" tanya Adit.
"Maksudnya, pak?"
"Maksudnya, bisa nggak saya booking Sonya sama Laura sekaligus?"
"Ehmmm....bisa-bisa aja sih. Bapak udah pernah ke sini sebelumnya?"
"Pernah tapi baru sekali. Emang kenapa?"
"Nggak papa. Tapi saya mesti nanya dulu ama Sonya dan Laura."
"Oke. Telepon aja mereka."
Adit duduk di sofa sambil menyalakan sebatang rokok. Resepsionis itu tampak berbicara di telepon untuk beberapa saat lamanya.
"Bapak mau massage di sini apa di kamar hotel?"
"Di sini aja. Kamar VIP nya masih ada kan?" Adit beranjak dari sofa.
"Masih, pak. Silahkan bapak ke kamar VIP."

(to be cont...)

Friday, March 04, 2005

L'sbian Package



1
Sabuka, Kahlua & Vodka

Jakarta, suatu malam, pukul 19.48 Wib. Dari sebuah pojok kafe, di hotel berbintang lima, di bilangan Senayan. Laki-laki itu menyeruput sebotol bir Corona hingga tersisa separuhnya. Matanya mengamati keadaan sekeliling. Tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa meja yang terisi. Musik mengalun pelan. Udara AC terasa dingin. Laki-laki itu menyalakan sebatang rokok Marlboro.

"Mau coba minuman lainnya, Mas?"
Suara bartender mengagetkannya. Laki-laki itu menoleh. Ah, pemilik suara itu tidak tahunya seorang perempuan. Dia mengenakan t-shirt hitam dan menguncir rambutnya ke belakang. Sorot matanya tajam tapi senyumnya ramah. Dan satu lagi, wajahnya yang bulat telur itu terlihat berbinar.
"Emang ada yang paling spesial di sini?" laki-laki itu balik bertanya.
"Yang paling spesial adalah racikan saya sendiri," jawab perempuan bartender itu, yakin.
"Oh ya? Lo serius? Dijamin enak nggak?" sambung laki-lali itu.
"Kalo dijamin enak, saya nggak janji. Tapi kalo dijamin mabuk, saya jamin."
Laki-laki itu menghembuskan asap rokoknya ke langit-langit. Belum ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Perempuan bartender itu masih berdiri di tempatnya. Dia masih menunggu sambil membenahi beberapa botol minuman yang ada di depannya.
"Nama lo siapa?" laki-laki itu malah balik bertanya lagi. Perempuan itu bartender itu terdiam sesaat.
"Risa, Mas."
"Nama gue Adit," laki-laki itu mengulurkan tangannya. Risa menyambutnya tanpa ragu lagi.
"Jadi nyobain minuman racikan saya, Mas?" tanya Risa setelah proses perkenalan yang lebih pas disebut sebagai basa-basi itu.
"Oke, boleh deh. Tapi kalo gue mabok, lo yang tanggung jawab ya."
"Waduh, mana bisa begitu. Kalo mas mabuk, jadi urusan mas sendiri. Gimana?"
"Bagaimana kalo kita minum bareng saja?" tawar Adit. Kali ini, pandangannya menatap tajam ke arah Risa.
"Nggak boleh. Ntar saya dimarahin sama manejer."
"Nggak papa. Ntar gue yang ngomong kalo ketahuan."
Risa ragu untuk sejenak. Tak lama, ia mulai mengambil dua gelas shooter dan mengambil 3 botol sekaligus : kahlua, vodka dan sabuka. Dengan cekatan, tangan Risa yang mungil itu menyampur tiga jenis minuman beralkohol itu dalam satu gelas. Hanya butuh waktu tak kurang dari 10 menit, dua gelas minuman itu sudah siap ditenggak. Risa memasukkan dua biji kopi ke dalam gelas.
"Untuk apa biji kopinya?" tanya Adit.
"Untuk menetralisir, mas. Coba aja dulu minumannya, baru boleh komentar."
"Oke. Cheeers...!"
Adit dan Risa sama-sama mengangkat gelas dan ber-toast. Sekali teguk, minuman itu langsung tak bersisa. Ada aroma segar yang keluar dari hidung Adit. Aroma itu tak ubahnya seperti hexos. Biji kopi yang rasanya pahit itu, ternyata menjadi sangat enak di lidahnya.
"Enak. Minuman tadi apa namanya?" Adit mengucapkan kata-katanya dengan begitu lepas.
"Belum tau, mas. Saya sendiri pernah memberinya nama. Saya juga iseng-iseng membuatnya kalo pas lagi nggak banyak kerjaan."
"Mendingan kasih nama Iseng-Iseng Mabora saja. Bagus nggak?" usul Adit.
"Boleh-boleh saja. Tapi di kafe ini menunya belum tertulis. Biasanya, hanya untuk tamu-tamu yang kenal saya saja."
"Kalo gitu, besok usulin saja masuk di list minuman."
Mereka tertawa. Adit dan Risa terus terlibat pembicaraan. Ada keakraban yang tiba-tiba hadir. Tanpa terasa, sudah lebih dari 5 gelas minuman Iseng-Iseng Mabora telah mereka habiskan. Muka Adit mulai memerah. Gerak tubuhnya juga mulai tidak stabil. Gaya bicaranya mulai agak ngaco. Seringkali, tidak sesuai dengan topik pembicaraan. Risa melihat itu semua dengan tersenyum kecil.
"Udah tipsy ya, mas?" tanya Risa, memastikan.
"Iya nih. Kepala gue mulai berat. Boleh juga minuman racikan lo." jawab Adit, jujur.
"Mendingan mas istirahat aja di kamar. "
"Nggak enak di kamar sendirian."
"Kalo gitu, panggil saja massage-girl. Kan enak kalo lagi mabuk ada yang mijitin." saran Risa dengan fasih.
"Boleh juga ide lo. Ada rekomendasi yang lucu-lucu nggak?"
"Bentar ya, saya tanya temen dulu." Risa mendekati waiter laki-laki yang berdiri tak jauh bar lalu balik lagi tempatnya.
"Panggil saja Sonya. Kalo nggak, Laura. Dua-duanya lucu kok."